Analisis Disparitas Putusan Tindak Pidana tentang Pengedaran Obat tanpa Izin Edar
Abstract
Penelitian ini membahas fenomena disparitas dalam putusan pengadilan terhadap pelaku tindak pidana pengedaran obat tanpa izin edar di Indonesia. Disparitas ini menimbulkan pertanyaan mengenai kesetaraan dan keadilan dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini berangkat dari perbedaan putusan antara dua kasus yang memiliki pelanggaran serupa, yaitu Putusan Nomor 27/Pid.Sus/2023/PN Dmk dan Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2023/PN Kln. Kedua kasus tersebut melibatkan pelaku yang mengedarkan obat keras tanpa izin edar, namun mendapat vonis pidana yang berbeda secara signifikan. Penelitian ini untuk mengetahui pertimbangan para hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana yang tidak setara serta faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana pengedaran obat tanpa izin edar. Melalui pendekatan yuridis normatif, penelitian ini menemukan bahwa faktor utama disparitas berasal dari interpretasi hakim terhadap beratnya pelanggaran, jumlah obat yang diedarkan, serta kondisi sosial dan ekonomi terdakwa. Dalam salah satu kasus, terdakwa dijatuhi hukuman lebih berat karena dianggap memperoleh keuntungan lebih besar dan mengedarkan dalam jumlah besar, sementara dalam kasus lainnya, terdakwa hanya menerima sanksi ringan karena peredaran dalam skala kecil. Disparitas ini mencerminkan kurangnya pedoman yang jelas dalam penjatuhan hukuman dan membuka ruang bagi subjektivitas dalam proses peradilan. Landasan teori yang digunakan adalah Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 serta Putusan Nomor 27/Pid.Sus/2023/PN Dmk dan Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2023/PN Kln .Penelitian menegaskan perlunya harmonisasi dalam putusan pidana untuk mengurangi ketidaksetaraan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Rekomendasi yang diusulkan adalah pembentukan standar yang lebih terstruktur bagi hakim dalam memutuskan perkara terkait pengedaran obat tanpa izin edar, guna menciptakan keadilan yang lebih konsisten dan transparan.

